DR. M. Arif Budiman, S.Ag, M.E.I
Ketua Umum Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia (ADPISI) Kalsel
Pada bulan Agustus tahun ini, setidaknya ada dua momen besar dan bersejarah bagi umat Islam di tanah air, yaitu ‘Idul Adha atau Hari Raya Kurban dan Hari Kemerdekaan NKRI ke-74. Kedua momen ini mengajarkan nilai yang sangat berharga yaitu spirit pengorbanan.
Berdasarkan arti leksikalnya, kata “kurban” dan “korban” memiliki makna yang identik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa “kurban” berarti persembahan kepada Allah, seperti biri-biri, sapi, unta, yang disembelih pada hari raya Haji, sedangkan “korban” bermakna pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan dan sebagainya. Dengan demikian, kedua kata ini memiliki makna yang sama, yaitu memberikan sesuatu yang sangat berharga sebagai bukti ketaatan dan kesetiaan.
Spirit Pengorbanan
Intisari dari peringatan Idul Adha adalah ibadah kurban. Kurban termasuk ibadah tertua dalam sejarah. Bila dilacak akar historisnya, kurban telah dikenal sejak zaman Nabi Adam, yaitu ketika kedua puteranya, Qabil dan Habil, diperintahkan untuk mempersembahkan kurban kepada Allah (QS. Al-Maidah: 27).
Namun dalam bentuk ritualnya seperti yang dijalankan saat ini, ibadah kurban sebenarnya merupakan napak tilas episode kehidupan Nabi Ibrahim beserta keluarganya sebagaimana diabadikan oleh Al-Quran dalam surat ash-Shaffat ayat 102-107.
Dari rangkaian ayat tersebut tampak dengan jelas betapa besarnya nilai pengorbanan yang ditunjukkan oleh Ibrahim, Ismail, dan Hajar. Ibrahim dikarunia anak pada usia 86 tahun setelah melalui masa penantian yang amat panjang. Namun tatkala putranya lahir, Allah justru memerintahkan Ibrahim untuk menempatkan bayi mungil beserta ibunya itu di lembah Mekkah yang sepi dan gersang.
Hajar pun menabahkan hatinya menjalani perintah Allah dan tinggal bersama bayi kecilnya di lembah asing tak berpenghuni itu dengan penuh perjuangan. Ketika persediaan air habis, Hajar sangat bingung, apalagi Ismail kecil terus menangis kehausan. Hajar berusaha sekuat tenaga mencari air dengan berlari antara bukit Shofa dan bukit Marwa sebanyak tujuh kali lantaran mengira disana ada air padahal yang tampak hanya fatamorgana. Namun akhirnya, Allah mengeluarkan air dari sela-sela kaki Ismail yang kemudian dikenal dengan nama sumur Zamzam.
Kemudian, setelah sekian tahun meninggalkan anak dan istrinya, kerinduan Ibrahim sudah tak terbendung lagi. Namun kerinduan itu ternyata diuji kembali oleh Allah dengan perintah untuk menyembelih anak kesayangannya itu. Perintah itu tentu saja amat berat, namun Ibrahim ikhlas melaksanakannya setelah diyakinkan oleh Ismail. Setelah nyata ketaatan keduanya, maka Allah kemudian mengganti Ismail dengan hewan sembelihan yang besar.
Rangkaian ujian ketaatan pada perintah Allah beserta kepasrahan total dan pengorbanan paripurna yang ditunjukkan oleh keluarga Ibrahim sungguh menjadi ibrah yang sangat berharga bagi generasi-generasi berikutnya.
Indonesia adalah sebuah negara yang hadir di permukaan bumi berkat pengorbanan dari para pahlawannya. Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari penjajah, tapi direbut melalui perjuangan para pahlawan sampai titik darah penghabisan.
Pekikan takbir yang dikumandangkan Bung Tomo untuk menyemangati arek-arek Suroboyo pada peristiwa 10 Nopember 1945 menunjukkan bahwa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah bagian dari ibadah kepada Allah dan bukti kecintaan kepada bangsa dan negara.
Indonesia memang telah merdeka dari belenggu penjajahan sejak 74 tahun silam. Namun, apakah negeri ini betul-betul sudah merdeka, terutama dari sisi ekonomi? Sayangnya, sejumlah indikator menunjukkan bahwa Indonesia belum betul-betul berdaulat secara ekonomi.
Dari tahun ke tahun, nilai impor Indonesia semakin tinggi, bukan hanya untuk kebutuhan sekunder, tapi juga untuk kebutuhan primer berupa bahan pangan, seperti beras, jagung, gandum, kedelai, gula, dan sebagainya. Impor pangan Indonesia terus meningkat dari 21,95 juta ton pada tahun 2014 menjadi 27,62 juta ton pada tahun 2018 (BPS dan Kementan, 2019). Saat ini Indonesia adalah negara pengimpor gula terbesar di dunia. Selain itu, utang luar negeri kita juga terus meningkat tiap tahun. Hingga Maret 2019, utang luar negeri Indonesia sebesar US$383,3 miliar dolar atau setara Rp 5.366 triliun (Kemenkeu, 2019).
Meneguhkan Kemandirian
Umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia pada dasarnya dapat meneguhkan kemandirian bangsa dengan melakukan sejumlah pengorbanan antara lain:
Pertama, membiasakan gaya hidup sederhana dan menjauhi segala bentuk pemborosan. Allah berfirman, “... dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan” (QS. al-Isra: 26-27).
Umat Islam hendaknya hidup secara sederhana dan tidak berlebih-lebihan, baik dalam makanan, penampilan, maupun hal-hal lainnya. Umat Islam hendaknya tidak membeli atau mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak dibutuhkan karena itu termasuk pemborosan. Perlu diingat bahwa cara memperoleh dan membelanjakan harta akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dengan spirit pengorbanan, umat Islam hendaknya merubah gaya hidup yang selama ini berlebih-lebihan atau boros menjadi lebih sederhana.
Kedua, mengutamakan produk dalam negeri dan mengurangi konsumsi barang impor. Umat Islam hendaknya lebih memilih produk-produk dalam negeri, khususnya yang dihasilkan oleh umat Islam sendiri dan mengutamakan berbelanja di toko-toko yang dimiliki sesama umat Islam. Dengan melakukan hal ini, maka aliran uang akan berputar di tengah umat dan dapat membangkitkan perekonomian umat sehingga pada akhirnya dapat melahirkan para pengusaha muslim yang tangguh. Rasulullah bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Kekuatan disini juga termasuk kekuatan dan kedaulatan di bidang ekonomi. Umat Islam tidak anti atau alergi dengan umat lain, namun sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, umat Islam seharusnya menguasai perekonomian secara proporsional yang sebanding dengan jumlah populasinya.
Ketiga, meningkatkan kepedulian terhadap orang miskin. Kesenjangan kekayaan di Indonesia tercatat masih cukup lebar. Penderitaan orang miskin pada hakikatnya merupakan tanggung jawab orang yang kaya. Sikap cuek terhadap penderitaan orang miskin merupakan perbuatan yang sangat dikecam. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. al-Ma’un: 1-3). Penyembelihan hewan kurban pada Idul Adha merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap nasib orang miskin.
Keempat, bersikap profesional dan melakukan hal yang terbaik. Seorang muslim dituntut bersikap profesional dalam profesinya masing-masing dan senantiasa melakukan hal yang terbaik dalam segala hal. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu” (HR. Muslim). Dalam konteks pengorbanan, umat Islam hendaknya bekerja secara sungguh-sungguh, disiplin, jujur, dan penuh dedikasi sehingga dapat melahirkan hasil-hasil kerja terbaik yang mendatangkan kemaslahatan.
Spirit pengorbanan yang diajarkan oleh ibadah kurban dan oleh para pahlawan pendahulu menuntut umat Islam agar selalu siap memberikan segenap potensi terbaik yang dimilikinya sebagai bukti ketaatan kepada Allah dan kesetiaan kepada bangsa dan negara.
Spirit Pengorbanan
Intisari dari peringatan Idul Adha adalah ibadah kurban. Kurban termasuk ibadah tertua dalam sejarah. Bila dilacak akar historisnya, kurban telah dikenal sejak zaman Nabi Adam, yaitu ketika kedua puteranya, Qabil dan Habil, diperintahkan untuk mempersembahkan kurban kepada Allah (QS. Al-Maidah: 27).
Namun dalam bentuk ritualnya seperti yang dijalankan saat ini, ibadah kurban sebenarnya merupakan napak tilas episode kehidupan Nabi Ibrahim beserta keluarganya sebagaimana diabadikan oleh Al-Quran dalam surat ash-Shaffat ayat 102-107.
Dari rangkaian ayat tersebut tampak dengan jelas betapa besarnya nilai pengorbanan yang ditunjukkan oleh Ibrahim, Ismail, dan Hajar. Ibrahim dikarunia anak pada usia 86 tahun setelah melalui masa penantian yang amat panjang. Namun tatkala putranya lahir, Allah justru memerintahkan Ibrahim untuk menempatkan bayi mungil beserta ibunya itu di lembah Mekkah yang sepi dan gersang.
Hajar pun menabahkan hatinya menjalani perintah Allah dan tinggal bersama bayi kecilnya di lembah asing tak berpenghuni itu dengan penuh perjuangan. Ketika persediaan air habis, Hajar sangat bingung, apalagi Ismail kecil terus menangis kehausan. Hajar berusaha sekuat tenaga mencari air dengan berlari antara bukit Shofa dan bukit Marwa sebanyak tujuh kali lantaran mengira disana ada air padahal yang tampak hanya fatamorgana. Namun akhirnya, Allah mengeluarkan air dari sela-sela kaki Ismail yang kemudian dikenal dengan nama sumur Zamzam.
Kemudian, setelah sekian tahun meninggalkan anak dan istrinya, kerinduan Ibrahim sudah tak terbendung lagi. Namun kerinduan itu ternyata diuji kembali oleh Allah dengan perintah untuk menyembelih anak kesayangannya itu. Perintah itu tentu saja amat berat, namun Ibrahim ikhlas melaksanakannya setelah diyakinkan oleh Ismail. Setelah nyata ketaatan keduanya, maka Allah kemudian mengganti Ismail dengan hewan sembelihan yang besar.
Rangkaian ujian ketaatan pada perintah Allah beserta kepasrahan total dan pengorbanan paripurna yang ditunjukkan oleh keluarga Ibrahim sungguh menjadi ibrah yang sangat berharga bagi generasi-generasi berikutnya.
Indonesia adalah sebuah negara yang hadir di permukaan bumi berkat pengorbanan dari para pahlawannya. Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari penjajah, tapi direbut melalui perjuangan para pahlawan sampai titik darah penghabisan.
Pekikan takbir yang dikumandangkan Bung Tomo untuk menyemangati arek-arek Suroboyo pada peristiwa 10 Nopember 1945 menunjukkan bahwa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah bagian dari ibadah kepada Allah dan bukti kecintaan kepada bangsa dan negara.
Indonesia memang telah merdeka dari belenggu penjajahan sejak 74 tahun silam. Namun, apakah negeri ini betul-betul sudah merdeka, terutama dari sisi ekonomi? Sayangnya, sejumlah indikator menunjukkan bahwa Indonesia belum betul-betul berdaulat secara ekonomi.
Dari tahun ke tahun, nilai impor Indonesia semakin tinggi, bukan hanya untuk kebutuhan sekunder, tapi juga untuk kebutuhan primer berupa bahan pangan, seperti beras, jagung, gandum, kedelai, gula, dan sebagainya. Impor pangan Indonesia terus meningkat dari 21,95 juta ton pada tahun 2014 menjadi 27,62 juta ton pada tahun 2018 (BPS dan Kementan, 2019). Saat ini Indonesia adalah negara pengimpor gula terbesar di dunia. Selain itu, utang luar negeri kita juga terus meningkat tiap tahun. Hingga Maret 2019, utang luar negeri Indonesia sebesar US$383,3 miliar dolar atau setara Rp 5.366 triliun (Kemenkeu, 2019).
Meneguhkan Kemandirian
Umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia pada dasarnya dapat meneguhkan kemandirian bangsa dengan melakukan sejumlah pengorbanan antara lain:
Pertama, membiasakan gaya hidup sederhana dan menjauhi segala bentuk pemborosan. Allah berfirman, “... dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan” (QS. al-Isra: 26-27).
Umat Islam hendaknya hidup secara sederhana dan tidak berlebih-lebihan, baik dalam makanan, penampilan, maupun hal-hal lainnya. Umat Islam hendaknya tidak membeli atau mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak dibutuhkan karena itu termasuk pemborosan. Perlu diingat bahwa cara memperoleh dan membelanjakan harta akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dengan spirit pengorbanan, umat Islam hendaknya merubah gaya hidup yang selama ini berlebih-lebihan atau boros menjadi lebih sederhana.
Kedua, mengutamakan produk dalam negeri dan mengurangi konsumsi barang impor. Umat Islam hendaknya lebih memilih produk-produk dalam negeri, khususnya yang dihasilkan oleh umat Islam sendiri dan mengutamakan berbelanja di toko-toko yang dimiliki sesama umat Islam. Dengan melakukan hal ini, maka aliran uang akan berputar di tengah umat dan dapat membangkitkan perekonomian umat sehingga pada akhirnya dapat melahirkan para pengusaha muslim yang tangguh. Rasulullah bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Kekuatan disini juga termasuk kekuatan dan kedaulatan di bidang ekonomi. Umat Islam tidak anti atau alergi dengan umat lain, namun sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, umat Islam seharusnya menguasai perekonomian secara proporsional yang sebanding dengan jumlah populasinya.
Ketiga, meningkatkan kepedulian terhadap orang miskin. Kesenjangan kekayaan di Indonesia tercatat masih cukup lebar. Penderitaan orang miskin pada hakikatnya merupakan tanggung jawab orang yang kaya. Sikap cuek terhadap penderitaan orang miskin merupakan perbuatan yang sangat dikecam. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. al-Ma’un: 1-3). Penyembelihan hewan kurban pada Idul Adha merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap nasib orang miskin.
Keempat, bersikap profesional dan melakukan hal yang terbaik. Seorang muslim dituntut bersikap profesional dalam profesinya masing-masing dan senantiasa melakukan hal yang terbaik dalam segala hal. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu” (HR. Muslim). Dalam konteks pengorbanan, umat Islam hendaknya bekerja secara sungguh-sungguh, disiplin, jujur, dan penuh dedikasi sehingga dapat melahirkan hasil-hasil kerja terbaik yang mendatangkan kemaslahatan.
Spirit pengorbanan yang diajarkan oleh ibadah kurban dan oleh para pahlawan pendahulu menuntut umat Islam agar selalu siap memberikan segenap potensi terbaik yang dimilikinya sebagai bukti ketaatan kepada Allah dan kesetiaan kepada bangsa dan negara.
Posting Komentar