Pada tanggal 12-14 September 2019, di Banjarmasin digelar Festival Ekonomi Syariah (FESyar) untuk Kawasan Timur Indonesia. Kegiatan ini diikuti oleh 18 provinsi di pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara. Penyelenggaraan FESyar ini merupakan hasil kerjasama Bank Indonesia, Komite Nasional Keuangan Syarih (KNKS), dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Tujuannya adalah mempromosikan produk dan kegiatan terkait ekonomi syariah secara terstruktur sehingga diharapkan dapat menjadi motor baru sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tema FESyar KTI ini adalah “Bergerak Bersama Ekonomi Syariah” dengan 6 kegiatan utama, yaitu seminar, kuliah umum dan talkshow, workshop, forum bisnis, pentas dan lomba seni, serta pameran/ekspo. Selama tiga hari, masyarakat Banjarmasin dan sekitarnya terlihat sangat antusias mengikuti berbagai kegiatan FESyar.

FESyar KTI tahun 2019 yang diselenggarakan pada bulan Muharram ini mengingatkan umat Islam pada peristiwa Hijrah yang dilakukan Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi, 14 abad silam. Peristiwa Hijrah menandai babak baru perjuangan Rasulullah dan para sahabat yang memungkinkan mereka melakukan konsolidasi spiritual, sosial, politik, dan ekonomi untuk mengukuhkan penyebaran Islam.

Rasulullah SAW mengambil tiga langkah strategis setibanya di Madinah, yaitu mendirikan masjid untuk menguatkan basis spiritual; mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar serta mengadakan perjanjian dengan berbagai kelompok agama dan etnis untuk menguatkan basis sosial; dan membangun pasar untuk menguatkan basis ekonomi umat Islam. Penulis tertarik mengupas penguatan basis ekonomi yang dilakukan Rasulullah pasca Hijrah. Namun harus dicatat bahwa basis ekonomi ini tidak berdiri sendiri, melainkan hanya akan terciptanya di atas basis spiritual dan basis sosial yang mantap.

Penguatan Ekonomi

Perekonomian Madinah sebelum kedatangan Rasulullah dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Suku Aus dan Khazraj yang merupakan penduduk asli Madinah tak berdaya menghadapi dominasi orang-orang Yahudi yang menguasai perdagangan dan pasar-pasar di Madinah. Orang-orang Yahudi juga memiliki kawasan pertanian yang cukup luas, seperti di Khaibar. Penguasaan dari hulu hingga ke hilir ini kian memperkuat dominasi mereka atas perekonomian Madinah.

Menghadapi situasi ini, Rasulullah SAW menerapkan dua strategi. Pertama, meningkatkan produktivitas umat Islam dengan memerintahkan sahabat menggarap lahan-lahan pertanian di Madinah yang banyak tak terurus. Beliau menyatakan, “Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati; maka tanah itu menjadi miliknya” (HR Al-Bukhari). Jika sebelumnya yang bertani adalah orang Madinah saja, maka kemudian banyak kabilah lain yang turut bercocok tanam sehingga muncul kawasan-kawasan pertanian baru yang produktif.

Kedua, mendirikan pasar baru untuk memperjualbelikan hasil produksi umat Islam. Dengan memiliki pasar sendiri, maka harga barang dapat ditetapkan secara wajar tanpa harus didikte sekehendak orang-orang Yahudi sebagaimana sebelumnya. Di pasar yang didirikan Rasulullah, tidak ada pungutan yang memberatkan dan dilakukan pengawasan yang ketat (hisbah) untuk mencegah penipuan dan kedzaliman sehingga memberikan suasana yang nyaman bagi penjual dan pembeli. Pada akhirnya, pasar-pasar Yahudi pun menjadi sepi.

Sinergi antar Sektor Ekonomi

Berkaca pada sirah Rasulullah di atas dan berlandaskan semangat hijrah, maka umat Islam di Indonesia idealnya dapat membangun kapasitas produksi dan sekaligus kemampuan distribusi barang-barang kebutuhannya sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak atau negara lain. Ini menjadi tantangan besar karena pada faktanya impor pangan Indonesia terus meningkat dari 21,95 juta ton pada tahun 2014 menjadi 27,62 juta ton pada tahun 2018 (BPS dan Kementan, 2019). Saat ini Indonesia juga merupakan negara pengimpor gula terbesar di dunia. Selain itu, sebagai konsumen, umat Islam juga dituntut memiliki loyalitas dan jiwa nasionalisme agar lebih memilih mengonsumsi barang-barang hasil produksi dalam negeri daripada produk impor sehingga aliran devisa keluar dapat ditekan.

Di samping sektor riil, umat Islam juga perlu mengembangkan sektor keuangannya berdasarkan sistem keuangan syariah. Berbagai lembaga keuangan syariah baik bank maupun non-bank terus tumbuh di seluruh pelosok tanah air dan siap memenuhi kebutuhan layanan keuangan bagi umat Islam. Hingga Mei 2019, aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp 484,62 triliun dengan pangsa pasar 5,85% dari total industri perbankan nasional, nilai pasar modal syariah mencapai Rp 727,08 triliun, sedangkan INKB sebesar Rp 100,49 triliun (OJK, 2019).

Di sisi lain, umat Islam juga perlu terus mengembangkan sektor sosial (filantropi), terutama zakat dan wakaf, untuk menopang sektor riil dan sektor keuangan agar tumbuh secara optimal. Indonesia saat ini memiliki 420 ribu hektar tanah wakaf, namun sayangnya hanya 10% yang diutilisasi secara produktif. Dengan asumsi harga tanah sebesar Rp 500 ribu per meter persegi, maka nilai tanah wakaf di Indonesia setidaknya mencapai Rp 2.100 triliun (Primandhita, 2017).

Tanah wakaf yang menganggur (idle) harus diberdayakan agar menghasilkan manfaat ekonomi yang besar sehingga berpotensi dapat mengurangi utang luar negeri Indonesia yang cenderung terus meningkat setiap tahun. Hingga Maret 2019, utang luar negeri Indonesia sebesar US$383,3 miliar dolar atau setara Rp 5.366 triliun (Kemenkeu, 2019). Jika sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dapat ditopang oleh dana wakaf yang berasal dari masyarakat, maka pemerintah dapat memangkas pengeluarannya secara signifikan sehingga tidak perlu lagi mengajukan pinjaman luar negeri.

Tingkatkan Literasi dan Sinergi

Untuk mendorong penerapan sistem Ekonomi Syariah, setidaknya ada dua agenda penting yang mendesak untuk ditangani, yaitu meningkatkan literasi terhadap sistem ekonomi dan keuangan syariah di kalangan masyarakat dan mendorong sinergi di antara berbagai pemangku kepentingan. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK pada tahun 2016, tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masyarakat Indonesia masih sangat rendah, yaitu 8,11% dan 11,06%. Ini berarti dari 100 penduduk Indonesia hanya delapan orang yang memahami produk keuangan syariah dan hanya 11 orang yang menggunakan produk tersebut.

Sementara itu, sinergi dan kerjasama di antara berbagai lembaga umat, mulai dari lembaga keuangan syariah, lembaga pendidikan, pondok pesantren, organisasi keagamaan, masjid dan mushalla, hingga entitas bisnis harus dibangun dengan sungguh-sungguh melalui aksi nyata, bukan sekadar wacana. Peningkatan literasi dan sinergi ini diharapkan akan mengakselerasi implementasi Ekonomi Syariah di tanah air sebagaimana yang diharapkan dari penyelenggaraan Festival Ekonomi Syariah yang baru saja berlalu. Wallahu a’lam.

Dimuat di Kolom Opini Banjarmasin Post, 17 September 2019.

Berikan Komentar

Lebih baru Lebih lama