Oleh: Dr. Mochammad Arif Budiman 

Pandemi Covid-19 telah memberikan pukulan dan tekanan yang sangat berat terhadap perekonomian. Industri yang pertama kali terpukul akibat Covid-19 adalah industri pariwisata, penerbangan, dan perhotelan, kemudian diikuti oleh industri minyak dan gas, asuransi dan otomotif. Namun seiring dengan peningkatan sebaran dan eskalasi pandemi, hampir semua sektor ekonomi turut terdampak dan mengalami kontraksi.

Perekonomian Indonesia pada kuartal I 2020 tercatat hanya tumbuh 2,97%, jauh lebih rendah dibanding capaian pertumbuhan pada kuartal IV 2019 sebesar 4,97% maupun tingkat pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,07%. Bank Indonesia menyebutkan konsumsi rumah tangga dan investasi sebagai dua kontributor utama perekonomian mengalami penurunan tajam. Sebelumnya, konsumsi rumah tangga diperkirakan masih bisa tumbuh 5%, namun realisasinya hanya 2,8%, sedangkan investasi diproyeksi tumbuh 2,4%, tapi realisasinya hanya 1,7%.

Krisis ekonomi yang dipicu oleh Covid-19 pada tahun 2020 tampak lebih berat bagi Indonesia dibandingkan krisis moneter 1997-1998 maupun krisis ekonomi 2008. Pada krisis 1997-1998, sektor korporasi atau perusahaan besar memang mengalami tekanan yang berat, namun Indonesia tertolong oleh sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang tetap bisa bertahan dan mampu menyerap tenaga kerja. Sedangkan krisis ekonomi 2008 yang berawal dari skandal subprime mortgage di Amerika yang kemudian menular ke seluruh dunia dapat diredam oleh pemerintah Indonesia dengan mendorong konsumsi dalam negeri. Namun pada saat ini, sektor UMKM yang pada krisis 1997-1998 menjadi penyelamat juga terdampak cukup parah dan, berbeda dengan 2008, krisis kali ini telah memengaruhi aktivitas perekonomian baik pada skala global, regional maupun lokal.

Pandemi Covid-19 tanpa terhindarkan menyebabkan terjadinya penurunan dan perlambatan perekonomian. Meskipun ada sejumlah industri yang justru mengalami booming di masa pandemi ini, seperti industri farmasi, kesehatan dan teknologi informasi, namun hampir semua sektor ekonomi lainnya ikut terdampak. Hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas produksi yang berakibat pada pengurangan karyawan, bahkan penutupan usaha karena tidak mampu bertahan. Akibatnya, rantai pasokan barang dan jasa menjadi terganggu (supply shock). Di sisi lain, karena banyak orang kehilangan pendapatan dan pekerjaan, maka daya beli masyarakat melemah sehingga terjadi penurunan permintaan terhadap barang dan jasa (demand shock). Lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan baru cenderung semakin bertambah jika kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sehingga efeknya terhadap daya beli dan ketahanan masyarakat pun akan semakin serius.


Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa tujuan dibentuknya negara yang utama adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Ini adalah kewajiban negara yang paling mendasar sehingga pemerintah wajib memprioritaskan perlindungan dan keselamatan seluruh rakyat di atas segalanya. Hal ini juga sejalan dengan tujuan diturunkannya ajaran Islam (maqasid al-syari’ah) yang menegaskan pentingnya memelihara jiwa (hifz an-nafs) setelah memelihara agama (hifz ad-din).

Pandemi Covid-19 telah merontokkan sendi-sendi kehidupan rakyat, khususnya kalangan ekonomi menengah ke bawah. Jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan baru dipastikan bertambah. Sebagai gambaran, sebelum terjadinya pandemi jumlah masyarakat di Jawa Barat yang membutuhkan bantuan sosial untuk bertahan hidup hanya 25%, namun kini jumlahnya mencapai 65% atau 38 juta jiwa (SindoNews, 8/5). Artinya, pandemi telah melipatgandakan jumlah masyarakat yang terancam keselamatan jiwanya dan membutuhkan pertolongan segera. Dalam kondisi kritis seperti ini, pemerintah wajib lebih berpihak kepada nasib mayoritas rakyatnya, bukan kepada segelintir pengusaha besar seperti tampak dari tetap mengalirnya TKA asing ke tanah air dengan dalih investasi. 

Pemerintah harus betul-betul serius memastikan agar keselamatan rakyat tetap terpelihara di masa-masa sulit ini, apalagi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah diterapkan sehingga makin mempersulit masyarakat dalam mencari nafkah. Menjamin keselamatan rakyat memang bukan hal mudah di tengah kondisi keuangan negara yang sedang mengalami defisit, tapi ini harus dilakukan pemerintah dengan segenap sumber daya yang dimilikinya.

Jaring pengaman sosial                                      
Pemerintah harus melakukan realokasi anggaran dan dengan tegas memangkas segala jenis pengeluaran yang tidak urgen. Berbagai proyek pemerintah yang tidak mendesak mesti dialihkan untuk menjamin keselamatan rakyat sekaligus menghindarkan potensi kerusuhan sosial yang biayanya tentu akan sangat besar. Penyaluran bantuan yang tidak efektif seperti pelatihan online pra-kerja yang menelan dana 5,6 triliun tentu jauh lebih bermanfaat jika disalurkan sebagai jaring pengaman sosial.

Di sisi lain, solidaritas dan kepedulian dari korporasi dan kelompok masyarakat yang mampu juga harus digalakkan. Perusahaan-perusahaan besar memang banyak yang terdampak akibat Covid-19, namun banyak di antaranya yang masih memiliki keuntungan dari kegiatan usaha tahun-tahun sebelumnya yang dapat disalurkan untuk membantu masyarakat kecil. Kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan dan penghasilan tetap di masa WFH (work from home) juga diharapkan dapat menyisihkan pendapatannya untuk menolong masyarakat yang kehilangan pendapatan dan pekerjaan.

Para ulama dan tokoh agama juga perlu lebih mendorong umat Islam mengeluarkan zakat, infaq, sedekah, dan wakaf. Keberadaan ZISWAF dan organisasi filantropi umat ini memainkan peran yang sangat vital di musim pandemi. Masyarakat juga perlu membangun jaring pengaman sosial di lingkungan masing-masing untuk memastikan tidak ada atau anggota masyarakat atau tetangganya yang kelaparan.

Kepatuhan terhadap PSBB
PSBB sebagai kebijakan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 memiliki konsekuensi cukup serius terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat. Terdapat tradeoff antara upaya penghentian wabah dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat. PSBB bukan hal yang mudah bagi pemerintah dan masyarakat, namun keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi harus lebih diutamakan. Oleh karena itu, tidak ada alternatif lain bagi masyarakat kecuali mendukung PSBB. Tanpa adanya kepatuhan masyarakat terhadap aturan PSBB, maka penyebaran Covid-19 makin sulit dihentikan dan pengaruhnya terhadap perekonomian dan kehidupan masyarakat akan semakin sulit diprediksi.

Peran pemerintah yang bahu-membahu dengan korporasi dan kelompok masyarakat yang mampu diharapkan menjadi solusi yang efektif untuk melindungi rakyat di masa-masa sulit. Bentuk bantuan sebaiknya berupa makanan pokok yang memenuhi kebutuhan nutrisi. Makanan semisal mie instan dan susu kental manis sebaiknya tidak dijadikan komponen bantuan karena kurang memenuhi asupan nutrisi. Selain itu, paket bantuan yang diberikan sebisa mungkin merupakan hasil produk lokal sehingga dapat menstimulasi roda perekonomian masyarakat setempat.


Tulisan Opini dimuat di HU Banjarmasin Post, 13 Mei 2020.

Penulis adalah 
Ketua II DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Kalimantan Selatan & Ketua Umum DPW Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia (ADPISI) Kalimantan Selatan.

Berikan Komentar

Lebih baru Lebih lama